WahanaNews-Jateng | Fenomena prostitusi online yang melibatkan anak tumbuh subur di Kota Semarang selama pandemic Covid-19.
Para anak dijajakan secara online via Michat oleh para mucikarinya.
Baca Juga:
Eks Menlu RI Retno Marsudi Diangkat jadi Dewan Direksi Perusahaan Energi Singapura
Bahkan, anggota Tim Elang Hebat Polrestabes Semarang beberapa kali mengamankan gadis di bawah umur saat operasinya di hotel-hotel Semarang.
Seperti di bulan September 2021, mereka mengamankan tiga gadis berusia masing-masing 14 sampai 19 tahun.
Mereka terbukti menjajakan diri di aplikasi kencan.
Baca Juga:
Buka Kejuaraan Nasional Renang Antar Klub Se-Indonesia, Wamenpora Harap Dapat Lahirkan Atlet Berprestasi
Terbaru, tim tersebut mengamankan SL gadis berumur 13 tahun yang masih berstatus pelajar kelas 6 SD.
Mirisnya, SL dijual oleh dua mucikarinya seharga Rp500 ribu.
"Itu yang baru ketahuan, apalagi yang tidak. Bisa saja lebih banyak," kata aktivis anak Semarang, Tsaniatus Solihah saat dihubungi wartawan, Sabtu (5/3/2022).
Baginya, praktik prostitusi online memang marak terjadi saat pandemi Covid-19.
Hal itu diperkuat dari informasi Unit PPA Polrestabes Semarang yang telah menangani sekian puluh anak usia 14 sampai 16 tahun yang terlibat prostitusi online di tahun 2021
Kasus itu disebabkan oleh hal yang hampir sama, yakni kegabutan anak-anak selama pandemi Covid-19.
Tadinya banyak kegiatan di sekolah, anak-anak tersebut harus berdiam diri di rumah.
Sedangkan di rumah orangtua tak mampu memfasilitasi kebutuhan anak.
"Kebutuhan di sini berupa ruang interaksi dan penyaluran emosi," jelasnya.
Selain itu, ada beragam cara anak terlibat prostitusi online, seperti terpancing dari iklan pekerjaan di facebook dengan gaji fantastis.
Adapula karena hubungan pacaran, kemudian pacar itu berperan sebagai mucikari yang menjual pacarnya sendiri.
"Kasus prostitusi online libatkan anak bermodus seperti itu banyak banget terjadi di tahun kemarin," bebernya.
Ia menuturkan, para anak perempuan yang terlibat prostitusi online memang tak dipidanakan karena berstatus korban.
Mereka hanya direhabilitasi atau dikembalikan kepada keluarga.
Kadang ada keluarga sendiri tak mau menerima anaknya itu karena saking stresnya menghadapi anak tersebut.
"Proses rehabilitasi juga tak mudah karena Semarang tak memiliki tempat rehabilitasi, tempat itu adanya di Solo," ucapnya.
Pihaknya mengaku,pernah menangani kasus prostitusi online melibatkan anak di bawah umur.
Anak itu kemudian direhabilitasi.
Persoalannya saat sekolah tahu anak tersebut terlibat prostitusi apakah dapat menerimanya sebagai siswa kembali.
"Maka kami tidak memberitahukan ke sekolah agar anak itu tetap dapat melanjutkan pendidikan," terang Direktur Pendidikan Yayasan Anantaka itu.
Ia mengatakan, perlu langkah pencegahan agar anak-anak tidak lari ke dunia prostitusi.
Tentunya diperlukan perlindungan anak yang perlu dilakukan di lingkungan keluarga.
Kontrol keluarga sangat penting terutama saat pandemi Covid-19 lantaran peran sekolah sangat berkurang.
"Keluarga harus bisa memberikan pengasuhan yang positif terhadap anak-anak sehingga anak diharapkan tidak melakukan perilaku negatif di antara prostitusi," ujarnya.
Di samping itu, persoalan literasi digital juga menjadi masalah
Banyak orangtua tidak mengetahui perkembangan dunia digital terutama di media sosil seperti adanya Michat.
"Anak-anak sekarang lebih pintar dari orangtua, kami juga kesusahan memberikan edukasi kepada orangtua setidaknya memahami hal-hal seperti itu," tuturnya.
Ia menambahkan, sebenarnya Pemerintah sudah melakukan langkah pencegahan dengan mengembangkan pengasuhan positif untuk anak.
Sebab, pandemi menggeser tanggung jawab yang mana beban tertinggi pengasuhan anak seluruhnya dibebankan ke orangtua.
"Pemkot telah melakukan sosialisasi dan edukasi ke orangtua agar mampu pengasuhan positif sehingga mengurangi risiko-risiko ketika anak-anak melakukan perilaku negatif di luar," paparnya.
Di sisi lain, catatan LBH Apik tahun 2021 menyebutkan, angka kekerasan seksual dalam prostitusi mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya.
Di tahun 2020 angka kasus kekerasan seksual dalam prostitusi di angka 45 kasus.
Di tahun 2021 terdapat 60 kasus.
"Puluhan kasus melibatkan perempuan dan anak perempuan yang disudutkan sebagai obyek seksual," tegas Direktur LBH APIK Semarang, Raden Rara Ayu Hermawati Sasongko kepada Tribunjateng.com.
Maka dari itu, LBH APIK Semarang,bersama PKBI Kota Semarang, PKBI Jateng, Suar Indonesia Kediri, KOMPAS Surabaya menginisiasi gerakan anti kekerasan seksual prostitusi dan tindak pidana perdagangan orang terhadap perempuan atau Warning Indonesia Woman at Harm In Prostitution and Trafficking (Warning).[non]