WahanaNews-Borobudur | Cuaca buruk tidak membuat harga cabai dari petani di kawasan lereng Gunung Merapi dan Merbabu menurun.
Menurut petani cabai di Desa Sawangan, Kecamatan Sawangan, Nanang Nurcholis, curah hujan tinggi menyebabkan cabai diserang penyakit seperti patek (jamur) dan layu.
Baca Juga:
Gelar Naker Expo, Kemnaker Sediakan Puluhan Ribu Lowongan Pekerjaan di Tiga Kota
Pada masa puncak panen, sekali petik petani rata-rata hanya mampu menghasilkan 20 kilogram cabai dari lahan seluas 1.000 meter persegi.
Saat curah hujan tinggi seperti sekarang, petani hanya bisa memetik cabai 12-15 kali sebelum akhirnya tanaman berhenti berbuah.
Jika curah hujan tidak tinggi, petani biasanya bisa memanen cabai hingga 23 kali.
Baca Juga:
Sudinkes Jakarta Barat Ingatkan Rumah Sakit Terus Terapkan Pelayanan Berbasis Hospitality
“Makanya saya heran kualitas panen masih jeblok kok harganya (cabai) turun sekali. Kemarin hampir 5 hari itu pemberitaan kenceng tentang (kenaikan) harga cabai. Sekarang bisa harga turun itu tidak tahu bagaimana caranya. Yang jelas merugikan petani,” kata Nanang kepada wartawan, Sabtu (12/3/2022).
Nanang menanam cabai rawit merah atau biasa disebut rawit setan di lahan seluas 3 ribu m2.
Pada Kamis (10/3/2022), dia menjual cabai kepada pengepul di Pasar Soko, Kecamatan Dukun seharga Rp34 ribu per kilogram.
Dari pengepul, cabai dijual ke pasar-pasar di Jakarta seharga Rp50 ribu per kilogram.
“Di Jakarta Rp50 ribu per kilogram itu termasuk turun. Kemarin harganya sempat tembus Rp75 ribu di eceran,” kata Nanang.
Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional, per 11 Maret 2022, harga jual cabai rawit merah di pasar tradisional di Jawa Tengah Rp 57.450 per kilogram.
Sedangkan harga cabai rawit hijau di pasar tradisional di Jateng menurut data PIHPS tercatat turun 1,97 persen atau Rp32.300 per kilogram.
Petani saat ini kesulitan mencari laba karena harga jual cabai yang murah.
Harga jual ke pengepul sebesar Rp 34 ribu per kilogram menurut Nanang tidak cukup untuk menutup biaya produksi.
Sedikitnya Nanang mengeluarkan biaya sebesar Rp8 juta untuk menanam cabai di lahan seluas 1.000 m2.
Modal itu untuk membayar upah buruh menyiapkan lahan, pupuk, serta obat-obatan pencegah tumbuhnya jamur (patek) pada cabai.
Harga Pupuk Mahal
Pada musim hujan, biaya operasional menanam cabai biasanya naik 2 kali lipat.
Sebab di musim hujan, cabai rawan terserang penyakit yang akan mempengaruhi jumlah panen.
“Musim hujan seperti ini biaya operasional banyak. Mulai dari pestisida dua kali lipat. Bisanya cukup menyemprot (obat anti jamur) seminggu sekali, sekarang seminggu dua kali. Perawatan lebih mahal kalau musim seperti ini.”
Menurut Nanang sudah lebih dari 1 tahun harga pupuk dan obat-obatan untuk hama tanaman cabai melonjak.
Pupuk NPK Mutiara yang sebelumnya seharga Rp 480 ribu per sak (ukuran 50 kg), sekarang melonjak menjadi Rp 700 ribu.
Pupuk Organik Petroganik yang disubsidi pemerintah dari semula seharga Rp 20 ribu sekarang menjadi Rp 35 ribu. Pupuk Phonska yang juga termasuk pupuk bersubsidi sekarang harganya tembus sekitar Rp250 ribu per 50 kilogram dari semula berkisar Rp 100 ribu.
Padahal modal untuk pupuk dan obat-obatan menghabiskan separo dari total biaya produksi tanaman cabai.
“Per 1.000 meter persegi lahan, modal dari awal ketika menyiapkan lahan, pupuk, benih, sampai panen itu sekitar Rp8 juta. Untuk pupuk hampir separonya. Dari pemupukan pertama, kocor, sama obat-obatan itu sekitar Rp4 juta,” kata Nanang.
Diperkirakan dari awal tanam sampai akhir panen cabai di lahan seluas 1.000 m2 membutuhkan pupuk NPK Mutiara sebanyak 4 sak (ukuran 50 kg).
Tidak semua kebutuhan pupuk bisa dibeli di Koperasi Unit Desa (KUD) karena keterbatasan kuota.
Nanang mengaku membutuhkan 100 sak pupuk NPK Mutiara dan Petroganik untuk keseluruhan lahan miliknya.
Padahal kuota menggunakan kartu tani yang dia miliki hanya cukup untuk menebus 40 sak pupuk.
“Beli partai kartu itu kan dibatasi. Saya cuma boleh beli 40 sak padahal kebutuhan untuk semuanya hampir 100 sak. Saya untuk memenuhi kebutuhan yang 60 sak pas macul itu kan beli dari luar KUD, itu per saknya jadi Rp 40 ribu.”
Membengkaknya biaya produksi akibat kenaikan harga pupuk disertai harga jual cabai yang rendah, dikhawatirkan menyebabkan banyak petani bangkrut.
Kebanyakan petani terbelit utang karena modal usaha didapat dari meminjam ke bank.
“Makanya saya heran kok pemerintah tidak melakukan monitoring soal ini (kenaikan harga pupuk). Kenaikannya luar biasa. Semua merek pupuk entah itu subsidi atau tidak, kenaikannya hampir 100 persen. Padahal waktu harga cabai naik, petani diintimidasi. Terus ada impor dan sebagainya,” pungkas Nanang. [rda]