WahanaNews-Borobudur | Kasus pemerkosaan terhadap seorang santriwati disabilitas di Magelang, Jawa Tengah dikecam Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA). Kementerian PPPA memastikan akan mengawal penanganan kasus tersebut hingga tuntas.
Deputi Perlindungan Hak Perempuan KemenPPPA, Ratna Susianawati menjelaskan pihaknya akan memastikan korban dapat perlindungan pemenuhan hak dan keadilan.
Baca Juga:
Kementan Dorong Optimasi Ratusan Hektar Lahan Baru di Sumsel
“Kami akan terus mengawal kasus ini hingga tuntas mulai dari proses penyidikan hingga putusan peradilan guna memberikan efek jera, sebab tidak ada toleransi sekecil apa pun terhadap segala bentuk kekerasan terhadap perempuan,” ujarnya dikutip Senin (24/1/2022).
1. Rasa aman saksi atau korban wajib dilaksanakan negara
Korban saat ini sudah dalam proses pendampingan baik secara fisik maupun psikologis oleh LSM SIGAP, yang merupakan pendamping korban disabilitas serta P2TP2A Kabupaten Magelang.
Baca Juga:
Olokan ke Tukang Es Teh Viral, Presiden Prabowo Tegur Gus Miftah
Ratna menjelaskan, perlindungan adalah aspek penting yang harus dimiliki setiap masyarakat, seperti tertuang dalam Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Pasal tersebut menyatakan perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi atau korban yang wajib dilaksanakan oleh negara, dalam hal ini Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
2. Korban menjalani pemeriksaan psikologis
Korban masih akan menjalani pemeriksaan psikologis di Rumah Sakit Dr Sardjito di Yogyakarta.
KemenPPPA memberi apresiasi pada P2TP2A Magelang, Polres Magelang, LSM SIGAP Yogyakarta, dan Rifka Anisah Yogyakarta yang telah bersinergi serta saling mendukung dalam menangani dan mendampingi santriwati korban pemerkosaan.
“P2TP2A Kabupaten Magelang sudah melakukan upaya pendampingan dalam penanganan terhadap kondisi korban, berupa asesmen, pendampingan psikologis bersama Rifka Anisah Yogyakarta, dan pendampingan proses hukum, seperti penyusunan Berita Acara Perkara (BAP) dan konsultasi hukum,” kata dia.
3. Salah satu pelakunya berusia anak
Korban diperkosa oleh terduga pelaku tiga orang laki-laki, yang salah satu terduga pelakunya masih berusia 15 tahun.
Ratna mengungkapkan pelaku usia anak harus ditangani melalui Undang-Undang Perlindungan Anak dan Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).
Pelaku, diduga telah melanggar pasal Pasal 285 KUHP dengan ancaman hukuman penjara maksimal 12 tahun.
4. Penyandang disabilitas rentan jadi korban
Ratna mengatakan penyandang disabilitas rentan menjadi korban kekerasan seksual dari lingkungan serta rentan mendapat stigma atas kondisinya.
Oleh sebab itu, perlindungan hukum pada korban perempuan penyandang disabilitas merupakan pengayoman terhadap hak asasi manusia yang mengalami kerugian akibat perbuatan orang lain.
Perlindungan ini diberikan pada masyarakat sehingga mereka dapat menjalankan seluruh hak-hak yang diperoleh dari hukum.
“Upaya perlindungan terhadap perempuan penyandang disabilitas tidak bisa ditangani oleh KemenPPPA saja harus bersinergi dengan melibatkan semua pihak yang terdiri dari unsur kementerian/lembaga dan masyarakat,” kata Ratna.
Perlindungan hukum penyandang disabilitas apalagi korban perkosaan mendapat hak-haknya yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. [rda]