WahanaNews-Jateng | Center fot Indonesia Policy Studies (CIPS), beranggapan bahwa pemerintah perlu menevaluasi efektivitas program subsidi pertanian demi mencapai ketahanan pangan.
Peningkatan tahunan anggaran subsidi, dinilai CIPS tak serta-merta mendorong peningkatan produktivitas komoditas pangan.
Baca Juga:
Terminal Kalideres Cek Kelayakan Bus AKAP Menjelang Nataru
“Diperlukan reformasi kebijakan subsidi pertanian secara menyeluruh, termasuk dengan mengevaluasi mekanisme subsidi dan merencanakan penghapusan bertahap,” kata Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Aditya Alta, dalam keterangan resminya, Kamis (14/4/2022).
Penelitian CIPS menemukan bahwa peningkatan subsidi input pertanian berdampak kecil pada peningkatan produktivitas.
Ini juga berkaitan dengan permasalahan yang masih sering terjadi di lapangan, misalnya kelangkaan pupuk bersubsidi yang menyebabkan petani mengurangi penggunaan pupuk atau membeli pupuk non-subsidi yang lebih mahal.
Baca Juga:
Ketum TP PKK Pusat Survei Persiapan Operasi Katarak di RSUD Kalideres
Permasalahan lainnya adalah masih rendahnya penggunaan input dengan potensi hasil yang tinggi dan kurangnya kombinasi input secara optimal.
Walaupun secara historis program subsidi pupuk berjasa meningkatkan produktivitas padi, efektivitasnya saat ini tampak sudah maksimum dengan cukup meratanya penggunaan pupuk, terutama di Pulau Jawa.
Penelitian CIPS menunjukkan tren produktivitas padi yang cenderung stagnan dari 2014-2019.
Target produksi 2020 sebesar 59,15 juta ton gagal tercapai dengan realisasi hanya 54,65 juta ton.
Padahal, pupuk bersubsidi menghabiskan anggaran subsidi non-energi terbesar dengan rerata tahunan mencapai Rp 31,53 triliun di periode 2015-2020.
Tiga kebijakan subsidi pertanian yang masih digunakan saat ini adalah pupuk bersubsidi, Kartu Tani dan program bantuan benih.
CIPS merekomendasikan perlunya rancang ulang kebijakan subsidi pertanian sehubungan dengan tidak efektifnya sistem ini dalam mendorong penggunaan input secara optimal.
Optimalisasi subsidi input pertanian sendiri dapat dicapai dengan beberapa cara.
Subsidi pupuk, misalnya, sebaiknya diubah menjadi pembayaran langsung kepada petani untuk memangkas perantara dan memastikan bantuan tepat sasaran.
Produktivitas pertanian juga masih terkekang oleh ketersediaan infrastruktur irigasi yang belum merata di semua wilayah.
Penerapan Kartu Tani juga dapat diubah dengan memberlakukan pembayaran langsung (direct payment) dengan sistem yang tidak dapat ditarik tunai dan tidak membatasi pembelian untuk input diluar pupuk serta merek tertentu saja.
Ini memungkinkan petani menggunakan saldo bantuan sesuai kebutuhannya.
“Petani yang memiliki fasilitas pengolahan pupuk organik, misalnya, mungkin memiliki kebutuhan pupuk yang lebih sedikit, sehingga lebih penting baginya untuk dapat membelanjakan saldo bantuan sesuai kebutuhannya,” ujar Aditya.
Bantuan juga harus menyasar petani yang, tanpa adanya bantuan, tidak akan menggunakan input secara optimal, terutama karena alasan keterjangkauan.
Harus ada pembedaan antara penggunaan input tidak optimal karena harga atau pengetahuan petani.
Terakhir, kebijakan input termasuk pupuk bersubsidi harus memiliki target, indikator keberhasilan, dan didukung perencanaan dan evaluasi yang jelas.
Jika target kebijakan sudah tercapai, atau evaluasi menunjukkan subsidi input tidak berhasil mencapai target, maka harus ada exit strategy berupa phasing out subsidi atau pengalihan ke program lain. [non]