Jateng.WAHANANEWS.CO - Organisasi Relawan Nasional MARTABAT Prabowo-Gibran menyatakan dukungan penuh terhadap target pembangunan satu juta rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah, khususnya di wilayah Jawa Tengah yang masih mencatat backlog perumahan lebih dari 1,3 juta unit.
MARTABAT menilai program ini bukan sekadar soal pemenuhan fasilitas fisik, tetapi juga langkah strategis mempersempit kesenjangan sosial yang terjadi antara pusat kota dan daerah penyangga.
Baca Juga:
Dari Petani hingga Pedagang Kopi, Warga Sambut Bahagia Kehadiran Rumah Subsidi FLPP
Ketua Umum MARTABAT Prabowo-Gibran, KRT Tohom Purba, menegaskan bahwa pembangunan rumah rakyat harus diintegrasikan dengan rencana besar pengembangan kawasan aglomerasi Solo Raya.
Menurutnya, jika pembangunan hanya berfokus di pusat kota tanpa memperhitungkan konektivitas wilayah di sekitarnya, maka ketimpangan distribusi ekonomi akan semakin lebar.
“Pemerintah menargetkan pembangunan satu juta rumah setiap tahun. Namun agar tidak sekadar angka, strategi aglomerasi harus menjadi fondasi. Solo Raya, dengan potensi kolaborasi lintas kabupaten dan kota, sangat ideal menjadi model pengembangan kawasan hunian terintegrasi yang menghidupkan ekonomi lokal,” ujar Tohom, Kamis (16/10/2025).
Baca Juga:
Di Depan Warga Bogor Presiden Ungkap RI Tak lagi Impor Beras
Ia menambahkan, backlog perumahan yang tinggi menunjukkan bahwa masyarakat bukan hanya membutuhkan tempat tinggal, tetapi kesempatan untuk hidup berdampingan dalam ekosistem ekonomi yang berkelanjutan.
Dalam pandangannya, rumah yang layak harus berada dalam kawasan dengan akses pekerjaan, transportasi, pendidikan, hingga peluang usaha.
Tohom menyoroti bahwa pengembangan aglomerasi Solo Raya harus menjadi mesin pemerataan ekonomi baru.
“Ketika akses hunian terjangkau dikaitkan dengan jalur transportasi massal, pusat UMKM, dan kawasan komersial baru, maka hunian tidak hanya menjadi tempat tinggal, tetapi titik awal mobilitas sosial,” tegasnya.
Tohom yang juga Ketua Aglomerasi Watch ini mengatakan bahwa program satu juta rumah akan lebih efektif jika dilaksanakan berbasis pemetaan kawasan produktif, bukan hanya membangun perumahan di lokasi yang jauh dari pusat aktivitas.
Menurutnya, kesalahan umum pembangunan perumahan rakyat selama ini adalah membangun tanpa memperhitungkan ekosistem ekonomi di sekitarnya, sehingga banyak kawasan perumahan rakyat yang akhirnya tidak berkembang.
“Kita harus belajar dari beberapa kawasan yang hanya menjadi kota tidur. Jika Solo Raya ingin menjadi episentrum baru pertumbuhan ekonomi di Jawa Tengah, maka aglomerasi harus dipahami sebagai integrasi, bukan sekadar perluasan wilayah,” jelasnya.
Tohom menyarankan agar pemerintah daerah segera memperkuat koordinasi dengan pengembang, BPN, serta lembaga pembiayaan agar masyarakat non-bankable tetap mendapat akses kepemilikan rumah melalui skema kredit adaptif dan subsidi yang tepat sasaran.
Ia juga menyebut bahwa ajang seperti Soloraya Property Awards dapat menjadi momentum penting untuk mempertemukan pemangku kepentingan dan mendorong inovasi dalam penyediaan hunian terjangkau.
Menurutnya, penghargaan tidak boleh berhenti sebagai seremoni, tetapi harus menjadi pemicu kolaborasi konkret antara birokrat, pengembang, dan lembaga pendukung perumahan.
“Membangun rumah bukan hanya soal bata dan semen, tetapi mencipta peradaban. Aglomerasi Solo Raya bisa menjadi contoh nasional jika semua pihak bergerak dalam visi yang sama, yaitu menurunkan kesenjangan sosial melalui hunian layak dan terintegrasi,” pungkasnya.
[Redaktur: Sobar Bahtiar]