WahanaNews-Borobudur | Pernah diajak menjulurkan tangan ke rongga-rongga di stupa Candi Borobudur sama teman? Kebiasaan ini muncul dari mitos Kunto Bimo.
Pada mitos ini, katanya, siapa saja yang merogoh ke dalam stupa berongga di Candi Borobudur, lalu menyentuh jari arca Buddha yang ada di dalamnya, maka akan mendapat keberuntungan atau terkabul keinginannya.
Baca Juga:
43 Bhikkhu Thudong dari Thailand, Malaysia, Singapore Tiba di Candi Borobudur untuk Rayakan Tri Suci Waisak
Dikutip dari akun resmi Balai Konservasi Borobudur, kepercayaan populer ini hanya sekadar mitos yang tidak terbukti. Terlebih, praktik ini juga sudah dilarang.
Balai Konservasi Borobudur sejak 2016 tidak membolehkan pengunjung Candi Borobudur untuk memegang dan menginjak stupa-stupa di sana agar tidak rusak.
Sebab, untuk menyentuh arca Buddha di dalam stupa, seseorang harus mendorong badan ke arah stupa dan menginjak stupa. Lalu, ia harus memasukkan tangan ke stupa teras atau stupa berlubang ini lewat lubang berbentuk belah ketupat tersebut agar bisa menyentuh arca Buddha.
Baca Juga:
Suku Mulu Wolomeze Wakili Pemkab Ngada Hadir di Acara Ruwatan Bumi
Dorongan badan dan tekanan kaki pengunjung pengunjung akan menekan batuan-batuan stupa Candi Borobudur dan lama-kelamaan menjadi rusak.
Sementara itu, mineral dan sentuhan dari telapak tangan dan jemari pengunjung membuat pelapukan arca Buddha di dalam stupa jadi lebih cepat.
"Kebiasaan ini jadi masalah di upaya pelestarian Candi Borobudur," jelas Balai Konservasi Borobudur dalam akun Instagram @konservasiborobudur, dikutip Senin (12/12/2022).
Sebelumnya pada 2010, kepala balita juga sempat terjepit di lubang stupa Candi Borobudur yang lain. Akibatnya, petugas Balai Konservasi Borobudur harus mengeluarkan pelan-pelan kepala sang balita selama setengah jam.
Objek Sakral
Pihak Balai Konservasi Borobudur juga mengingatkan bahwa Candi Borobudur merupakan simbol religius umat Buddha yang wajib dihargai sebagai bentuk toleransi umat beragama.
"Candi Borobudur adalah objek pemujaan atau simbol religius umat Buddha. Pantaskah kita menaikkan kaki kita ke simbol religius ini? Tentu tidak, karena ini adalah objek yang disakralkan teman-teman kita yang umat Buddha. Sudah seharusnya kita menghargainya, kembali pada toleransi umat beragama yang merupakan identitas kita," kata Balai Konservasi Borobudur.[zbr]