“Ketika akses hunian terjangkau dikaitkan dengan jalur transportasi massal, pusat UMKM, dan kawasan komersial baru, maka hunian tidak hanya menjadi tempat tinggal, tetapi titik awal mobilitas sosial,” tegasnya.
Tohom yang juga Ketua Aglomerasi Watch ini mengatakan bahwa program satu juta rumah akan lebih efektif jika dilaksanakan berbasis pemetaan kawasan produktif, bukan hanya membangun perumahan di lokasi yang jauh dari pusat aktivitas.
Baca Juga:
Dari Petani hingga Pedagang Kopi, Warga Sambut Bahagia Kehadiran Rumah Subsidi FLPP
Menurutnya, kesalahan umum pembangunan perumahan rakyat selama ini adalah membangun tanpa memperhitungkan ekosistem ekonomi di sekitarnya, sehingga banyak kawasan perumahan rakyat yang akhirnya tidak berkembang.
“Kita harus belajar dari beberapa kawasan yang hanya menjadi kota tidur. Jika Solo Raya ingin menjadi episentrum baru pertumbuhan ekonomi di Jawa Tengah, maka aglomerasi harus dipahami sebagai integrasi, bukan sekadar perluasan wilayah,” jelasnya.
Tohom menyarankan agar pemerintah daerah segera memperkuat koordinasi dengan pengembang, BPN, serta lembaga pembiayaan agar masyarakat non-bankable tetap mendapat akses kepemilikan rumah melalui skema kredit adaptif dan subsidi yang tepat sasaran.
Baca Juga:
Di Depan Warga Bogor Presiden Ungkap RI Tak lagi Impor Beras
Ia juga menyebut bahwa ajang seperti Soloraya Property Awards dapat menjadi momentum penting untuk mempertemukan pemangku kepentingan dan mendorong inovasi dalam penyediaan hunian terjangkau.
Menurutnya, penghargaan tidak boleh berhenti sebagai seremoni, tetapi harus menjadi pemicu kolaborasi konkret antara birokrat, pengembang, dan lembaga pendukung perumahan.
“Membangun rumah bukan hanya soal bata dan semen, tetapi mencipta peradaban. Aglomerasi Solo Raya bisa menjadi contoh nasional jika semua pihak bergerak dalam visi yang sama, yaitu menurunkan kesenjangan sosial melalui hunian layak dan terintegrasi,” pungkasnya.