Saat itu, dalam waktu bersamaan mereka juga diminta tolong untuk menangkap monyet yang lepas di kawasan Borobudur.
Upaya penangkapan ini berhasil dengan membutuhkan waktu 2 minggu. Setelah berhasil ditangkap, biasanya monyet tersebut harus dikarantina terlebih dahulu.
Baca Juga:
Gelar Naker Expo, Kemnaker Sediakan Puluhan Ribu Lowongan Pekerjaan di Tiga Kota
"Kami tergeraknya gara-gara kasihan kalau monyet yang sudah dipelihara orang kok sampai terlantar. Awalnya cuman gara-gara itu, ada yang nawari. Kalau boleh kita beli dengan harga lebih murah, kita beli pelihara di sini sampai mati," tutur Pietra seraya menyebut membeli demi menyelamatkan monyet, itu.
Pietra menuturkan, belajar menjadi rescue monyet secara autodidak. Dia menyebut memelihara monyet yang mereka selamatkan itu berdasarkan dari pengalaman memelihara Malicha.
"Kalau belajar rescue itu sebenarnya dari pengalaman pelihara saja apalagi primata itu hewan cerdik yang bisa diajak interaksi. Mereka (monyet) itu cenderung penasaran apapun yang dia baru lihat pasti penasaran. Contoh kalau belajar rescue pertama kita harus sediakan jebakan harus ada umpannya. Umpan itu salah satu, kalau monyet kelaparan kasih makanan pasti, tapi kalau monyet dia merasa makanan cukup harus dipancing dengan monyet lain," ujar pria yang pernah kuliah di Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada (UGM).
Baca Juga:
Sudinkes Jakarta Barat Ingatkan Rumah Sakit Terus Terapkan Pelayanan Berbasis Hospitality
Permintaan untuk menangkap monyet tak hanya datang dari Magelang, tapi juga Temanggung, Klaten, hingga Solo. Setelah dirawat, monyet-monyet itu diberi nama di antaranya Siwon, Mas Al, Angel, Simon, serta lainnya.
Untuk mencukupi kebutuhan makanan mereka, pasutri ini merogoh kocek dari kantung pribadi mereka. Rata-rata sehari mereka membutuhkan minimal Rp 50 ribu untuk pakan.
"Sebetulnya Rp 50.000 itu minimal. Kita waktu itu pernah beli mentimun 4 kuintal itu dalam 3 atau 4 hari. Karena itu sampai malam mereka makan terus, kalau belum habis ya nggak berhenti," ujar Asri.