Jadi, menurut versi ini, tokoh Sri Kahulunan bukan Pramodawardhani, melainkan ibunya, yaitu istri Samaratungga.
Rakai Pikatan adalah raja keenam Kerajaan Medang menurut prasasti Mantyasih.
Baca Juga:
Psikolog Ungkap Penyebab Suami Tak Mau Bekerja, Nomor 3 Mengejutkan
Dari prasasti Wantil diketahui bahwa Rakai Pikatan menganut agama Hindu Siwa dan menikah dengan seorang putri beragama Buddha.
Mayoritas sejarawan sepakat bahwa putri tersebut adalah Pramodawardhani.
Perkawinan Pramodhawardani dengan Rakai Pikatan disebut-sebut sebagai momen bersatunya dua keluarga besar yang sebelumnya berseteru.
Baca Juga:
IKN Diserbu Wisatawan Saat Lebaran, Benarkah Lebih Cocok Jadi Destinasi Wisata?
Penyatuan dua wangsa ini tentu saja berdampak positif terhadap toleransi beragama antara pemeluk Buddha dan Hindu di Jawa kala itu. Agama Buddha masih lebih dominan pada dekade awal abad ke-7.
Salah satu buktinya adalah Candi Borobudur. Kompleks candi besar di kawasan yang kini termasuk wilayah Kabupaten Magelang ini dibangun pada era Samaratungga.
Namun, yang meresmikan Borobudur adalah putrinya, Pramodhawardani, tahun 824 M. Setelah Pramodhawardani resmi bertakhta sejak 833 M, didampingi Rakai Pikatan, nuansa toleransi beragama semakin terasa.