JATENG.WAHANANEWS.CO, Semarang - Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Jawa Tengah (Jateng) mengungkapkan bahwa 36 Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di berbagai kabupaten/kota masih menerapkan sistem open dumping, di mana sampah dibiarkan begitu saja tanpa pengelolaan yang memadai.
"Di Jateng ada 46 TPA, yang open dumping 36 TPA, beberapa sudah melakukan perbaikan dengan controlled landfill," kata Kepala DLHK Jateng, Widi Hartanto, saat dihubungi awak media, Selasa (25/3/2025).
Baca Juga:
Presiden Prabowo Gelar Rapat Bahas Solusi Pengelolaan Sampah Nasional di Istana Merdeka
Widi menjelaskan metode open dumping sudah tidak direkomendasikan lagi karena dapat menimbulkan berbagai masalah lingkungan.
"(Open dumping) Sampah ditaruh begitu saja, dibiarkan, jadi sudah tidak direkomendasikan. Jadi mestinya yang diterapkan adalah controlled landfill atau sanitary landfill," jelasnya.
"Kalau controlled landfill itu misal sampah masuk ke TPA nanti dilakukan pengurukan dengan tanah sehingga tidak ada sampah yang terbuka dan tidak terolah dengan baik," sambungnya.
Baca Juga:
Gubernur Jawa Tengah Percepat Replikasi TPST RDF Jeruklegi ke Daerah Lain
Ia menjelaskan tanpa perlakuan lebih lanjut terhadap sampah yang menumpuk, nanti bisa berdampak pada pencemaran tanah, air, dan udara. Oleh karena itu, beberapa daerah sudah mulai melakukan perbaikan dengan menutup tumpukan sampah menggunakan tanah atau landfill.
"Sanitary landfill ini treatment-nya lebih baik lagi. Ada pengolahan limbahnya, ada penutupan lahan dan pengolahan gas, penangkapan gas, dan yang lain," jelasnya.
"Sekarang ini memang disyaratkan dengan pengolahan sampah, bisa menjadi kompos, sampah bisa menjadi RDF (Refuse-Derived Fuel) untuk substitusi bahan baku di pabrik semen misalnya," sambung dia.
TPA yang ideal, kata Widi, seharusnya menerapkan sistem controlled landfill, di mana sampah ditimbun dan dipadatkan secara berkala dengan tanah untuk mengurangi bau dan risiko pencemaran.
Selain itu, sanitary landfill lebih disarankan karena memiliki sistem pengolahan air lindi dan penangkapan gas metana yang dapat digunakan sebagai sumber energi.
Kendala utama yang dihadapi daerah, kata Widi, adalah keterbatasan anggaran dan lahan. Beberapa daerah tidak memiliki lahan yang cukup jauh dari permukiman, padahal TPAT harus berjarak 500 meter dari permukiman warga. Sementara untuk TPA minimal 1 kilometer dari pemukiman.
"Mudah-mudahan teman-teman sudah bergerak semua untuk melakukan penutupan dengan tanah. Karena sebagian besar ini metode awalnya kan sudah controlled landfill, tapi karena keterbatasan biaya sehingga pengurukannya mungkin belum sempat," jelasnya.
Saat ini Pemprov Jateng sedang menyiapkan beberapa Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Regional untuk menangani masalah TPA overload. Teknologi RDF yang mengubah sampah menjadi bahan bakar alternatif juga mulai diterapkan.
"Upaya ke depan yang perlu dilakukan adalah tempat pengolahan sampah bisa jadi RDF atau bisa dengan komposter, misal langkah-langkah lain seperti insinerator itu juga bisa diterapkan," jelasnya.
[Redaktur: Sutrisno Simorangkir]