Bola yang dipakai dengan terbalut dengan klaras (daun pisang kering) dan pelepah pohon pisang.
Kemudian, jaring gawang juga dari pelepah pohon pisang. Untuk wasit membawa kartu kuning dari pisang matang serta kartu merah dari jantung pisang.
Baca Juga:
Eks Menlu RI Retno Marsudi Diangkat jadi Dewan Direksi Perusahaan Energi Singapura
"Karena sifatnya edukasi untuk membangun kesadaran makanya anak-anak atau yang nonton dikenalkan berbagai jenis tanaman pisang. Itu dipamerkan berbagai jenis tanaman pisang, kemudian kaitannya pisang dengan budaya spiritual yang ada di Kecamatan Borobudur untuk uba rampe slametan (pisang dipakai untuk selamatan)," tuturnya.
"Ini melibatkan ibu-ibu di masing-masing desa, mereka harus mendukung kegiatan ini. Mereka masak dan minuman berbasis tanaman pisang, selain dilombakan nanti makanan yang dibuat ibu-ibu tersebut," kata dia melanjutkan.
Panji menambahkan, setiap tim ada 7 orang dan tidak boleh memakai sepatu.
Baca Juga:
Buka Kejuaraan Nasional Renang Antar Klub Se-Indonesia, Wamenpora Harap Dapat Lahirkan Atlet Berprestasi
Selain itu, pemain memakai atribut dari pohon pisang.
"Peserta di bawah usia 15 tahun, SD sampai SMP, nggak boleh pakai sepatu. Seperti sepak bola orang desa pada umumnya," tuturnya.
Sementara itu, salah satu warga Wringinputih, Muhammad Rofingi mengatakan dengan adanya Liga Pisang ini masyarakat bisa melihat anak-anak bermain bola meski jumlahnya sedikit.