JATENG.WAHANANEWS.CO, Wonosobo - Kebiasaan membeli BBM di SPBU Pertamina sudah tidak lagi dilakukan oleh Warga Desa Talunombo.
Hal tersebut lantaran warga bisa menciptakan sendiri BBM dengan memanfaatkan limbah plastik.
Baca Juga:
Peduli Lingkungan, PT Bo'a Development Kampanyekan Bebas Sampah Plastik
Kreatifitas warga ini menjadi sangat baik dan bersifat ekonomis.
Desa Talunombo yang terletak di Kecamatan Sapuran, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, kini menjadi contoh inovasi pengelolaan sampah plastik.
Berjarak sekitar 23 kilometer dari pusat kota Wonosobo, desa ini berhasil mengubah masalah sampah plastik menjadi berkah bagi warganya.
Baca Juga:
Pemkot Jakarta Utara Soroti Masalah Sampah yang Mengotori Laut di Muara Baru
Kepala Desa Talunombo, Badarudin, menjelaskan bahwa di banyak daerah, terutama kota-kota besar, sampah plastik menjadi masalah serius yang menyebabkan penyakit dan pencemaran lingkungan.
"Fenomena sampah yang menjadi masalah utama di berbagai daerah, terutama di kota-kota besar," ujarnya.
Namun, di Desa Talunombo, fenomena tersebut berbalik.
Mereka justru kekurangan sampah plastik untuk diolah menjadi bahan bakar minyak (BBM).
Melalui kreativitas pemuda dan dukungan dari pihak desa, sampah plastik diolah menjadi BBM yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan dapat digunakan untuk menghidupkan mesin diesel.
"Setiap hari kita mengambil sampah dari rumah-rumah warga, lalu kita bawa ke tempat pemrosesan sampah menjadi BBM," kata Badarudin, Kamis (13/2/2025), dikutip kompas.
Sampah dan limbah rumah tangga yang berhasil dikumpulkan kemudian dipisahkan menjadi sampah organik dan anorganik.
Sampah plastik selanjutnya dimasukkan ke dalam alat pengolah yang dikenal dengan sebutan "pyrolysis gen 5," jelas Badarudin.
Proses pengolahan menggunakan mesin pyrolysis gen 5 ini mengubah sampah plastik menjadi cairan melalui proses pemanasan hingga mencapai suhu 300 derajat Celsius.
"Pembakaran dengan hasil maksimal memerlukan waktu 12 jam," tambahnya.
Sampah plastik bersih dimasukkan secara bertahap hingga mencapai 50 kilogram, dengan suhu yang dinaikkan secara bertahap.
Budi Santoso, salah satu pengelola sampah, menjelaskan bahwa ide pembuatan BBM dari sampah plastik ini muncul dari kesulitan desa dalam mengelola sampah plastik.
Untuk itu, pihak desa mendirikan tempat pengelolaan sampah reduce reuse recycle (TPS3R).
"Alhamdulillah berhasil menciptakan alat untuk mengubah sampah plastik, minyak goreng bekas (jelantah), dan oli bekas menjadi BBM, yang digunakan untuk alat-alat pertanian dan lainnya," ungkap Budi.
Saat ini, Desa Talunombo mengalami kekurangan sampah plastik untuk diolah.
Pengelola bahkan membeli sampah plastik dari warga dengan harga Rp 500 per kilogram untuk memenuhi kebutuhan produksi.
"Sampah plastik kita beli dari warga," kata Budi.
Dengan inovasi ini, Desa Talunombo tidak hanya berhasil mengatasi masalah sampah plastik, tetapi juga menciptakan sumber pendapatan baru bagi warganya.
Selain BBM, bahan lain yang tak kalah diperbincangkan adalah tabung gas elpiji 3 Kg.
Hampir sama kreatifnya dengan warga Desa Talunombo, warga desa Dukuh Pesalakan, Desa Adiwerna, Kecamatan Adiwerna, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah sudah 17 tahun tak pakai gas elpiji.
Untuk memenuhi kebutuhan gas mereka menggunakan bahan yang tak disangka-sangka.
Para warga sudah 17 tahun tak pakai elpiji.
Mereka adalah warga Dukuh Pesalakan, Desa Adiwerna, Kecamatan Adiwerna, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah.
Sudah 17 tahun terakhir sejak 2008, perajin tahu di Dukuh Pesalakan berhasil mengolah limbah tahu menjadi energi terbarukan berupa biogas.
Bahkan banyak warga yang saat ini tidak menggunakan tabung gas elpiji, melainkan menggunakan gas dari limbah tahu.
Diketahui, satu rumah produksi tahu dalam seharinya bisa mengolah 100 hingga 150 kilogram kedelai.
Limbah tahu yang baunya cukup menyengat tersebut sempat menjadi permasalahan bagi warga desa tetangga.
Warga setempat, Ranito (50) mengatakan, limbah tahu warga sebelumnya dibuang ke sungai hingga menyebabkan bau yang tidak sedap.
Dampaknya, banyak warga dari desa sekitar yang merasa jengkel.
Tetapi setelah limbahnya diubah menjadi biogas, baunya hilang dan gas yang dihasilkan bisa untuk memasak.
"Saya sejak 2008 belum pernah beli tabung gas elpiji," katanya, Selasa (13/8/2024).
"Untuk warga hemat juga, sebulan hanya membayar Rp15 ribu," imbuh Ranito.
Perajin tahu, Rumiyati (45) mengatakan, Dukuh Pesalakan menjadi sentral produksi tahu sudah turun temurun, dia pun melanjutkan usaha milik orang tua.
Dalam sehari, ia bisa memasak 10 kali hingga 60 kilogram kedelai.
Menurutnya, keberadaan limbah tahu mengganggu lingkungan karena baunya sangat menyengat.
"Dulu dibuang di selokan belakang rumah, jadi baunya menyengat."
"Alhamdulillah sekarang ada salurannya sendiri, jadi aman," ungkapnya dilansir Tribun Jateng.
Limbah dari perajin tahu yang berjumlah sampai 200 rumah produksi tersebut disalurkan melalui pipa-pipa khusus atau Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) di bawah tanah.
Saluran ini terpusat di rumah pengolahan yang memiliki empat biodigester dan berdiri di lahan seluas 700 meter persegi.
Penanggung jawab rumah biodigester, Rosikin (52) bercerita, pembuatan IPAL pengolahan limbah tahu menjadi biogas ini sejak 2008.
Sebelumnya limbah tahu dibuang ke belakang rumah, ada kolam yang dibuat oleh masing-masing perajin tahu.
Karena baunya menjadi masalah, sempat ada rencana pembuangan limbah melalui Sungai Gung yang melintasi Desa Kalimati.
Tetapi warga di desa tersebut tidak mengizinkan hingga terjadi keributan.
"Akhirnya dari pemerintah saat itu bekerja sama dengan UGM buat biogas. Maka sejak 2008 sampai sekarang, alhamdulillah masih berfungsi baik," ujarnya.
Rosikin menjelaskan, saat ini pengolahan dan perawatan sepenuhnya sudah diserahkan ke warga Dukuh Pesalakan.
Manfaatnya banyak dirasakan warga, dari limbah yang baunya menyengat justru bisa menjadi gantinya gas elpiji.
Masyarakat juga lebih hemat dengan cukup membayar Rp15 ribu per bulan dan bisa menggunakan setiap hari.
Selain itu, limbah tahu yang sudah melalui proses biogas saat keluar sungai sudah tidak memiliki bau apapun.
"Jadi penyaringan-penyaringan di biodigester itu saat keluar sudah tidak menyengat, baunya benar-benar hilang," jelasnya.
Rosikin mengatakan, dulu warga yang bisa menggunakan biogas dari limbag tahu ini bisa sampai 60 rumah.
Saat ini tinggal di sekitar rumah biodigester saja sekitar 25 rumah, karena terdampak proyek pembangunan jalan tol.
Dia berharap, ke depannya rumah biodigester ini mendapatkan perhatian dari pemerintah daerah atau instansi pemerintah terkait, sehingga jaringannya bisa diperluas dan dapat dimanfaatkan masyarakat.
"Harapannya ke depan, kami ingin ada pencerahan dari pemerintah terkait penyaluran air limbah ke IPAL.
Kami ingin punya instalasi yang lebih bagus supaya tidak terhambat di penyalurannya," harapnya.
Sebagai informasi, biogas adalah salah satu jenis energi alternatif yang dapat menggantikan penggunaan bahan bakar fosil.
Dilansir dari Youmatter, biogas adalah jenis bahan bakar nabati yang dihasilkan dari penguraian bahan organik yang dilakukan secara alami.
Saat bahan organik terpapar lingkungan kedap oksigen, maka campuran gas didalamnya akan terbebas.
Gas yang paling banyak dilepaskan pada proses ini adalah gas metana sebesar 50-75 persen, bergantung pada jumlah karbohidrat yang terdapat pada campuran bahan organik dan karbon dioksida.
Proses ini juga menghasilkan gas lainnya namun dalam jumlah yang lebih kecil.
Dikarenakan proses produksi biogas ini terjadi secara anaerob, yaitu tanpa paparan oksigen, sehingga terjadi proses fermentasi yang memecah rantai pada bahan organik.
Proses pemecahan ini menjadikan bahan organik yang semula limbah menjadi sumber energi.
Sumber energi ini dapat digunakan untuk memanaskan, mendinginkan, memasak, atau bahkan memproduksi listrik.
[Redaktur: Sutrisno Simorangkir]