TPA yang ideal, kata Widi, seharusnya menerapkan sistem controlled landfill, di mana sampah ditimbun dan dipadatkan secara berkala dengan tanah untuk mengurangi bau dan risiko pencemaran.
Selain itu, sanitary landfill lebih disarankan karena memiliki sistem pengolahan air lindi dan penangkapan gas metana yang dapat digunakan sebagai sumber energi.
Baca Juga:
Presiden Prabowo Gelar Rapat Bahas Solusi Pengelolaan Sampah Nasional di Istana Merdeka
Kendala utama yang dihadapi daerah, kata Widi, adalah keterbatasan anggaran dan lahan. Beberapa daerah tidak memiliki lahan yang cukup jauh dari permukiman, padahal TPAT harus berjarak 500 meter dari permukiman warga. Sementara untuk TPA minimal 1 kilometer dari pemukiman.
"Mudah-mudahan teman-teman sudah bergerak semua untuk melakukan penutupan dengan tanah. Karena sebagian besar ini metode awalnya kan sudah controlled landfill, tapi karena keterbatasan biaya sehingga pengurukannya mungkin belum sempat," jelasnya.
Saat ini Pemprov Jateng sedang menyiapkan beberapa Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Regional untuk menangani masalah TPA overload. Teknologi RDF yang mengubah sampah menjadi bahan bakar alternatif juga mulai diterapkan.
Baca Juga:
Gubernur Jawa Tengah Percepat Replikasi TPST RDF Jeruklegi ke Daerah Lain
"Upaya ke depan yang perlu dilakukan adalah tempat pengolahan sampah bisa jadi RDF atau bisa dengan komposter, misal langkah-langkah lain seperti insinerator itu juga bisa diterapkan," jelasnya.
[Redaktur: Sutrisno Simorangkir]