Pemadaman dimulai sejak pukul 08.00 hingga pukul 15.00. Sebagai pengurus PLTHM, tiap lima hari pertama di awal bulan, Zaenal dibantu dengan sekretaris mengunjungi rumah-rumah warga untuk menarik iuran wajib.
Zaenal kemudian menunjukkan rumahnya yang berjarak 100 meter dari pos pembangkit. Daya listrik terpasang di rumah Zaenal sebesar 450 volt ampere (VA) untuk menyalakan televisi, kulkas, penanak nasi dan lampu. "Yang paling banyak makan setrum itu penanak nasi," ujarnya.
Baca Juga:
Soroti Kasus Agus NTB, Hotman Paris: Disabilitas Bukan Jaminan Bebas dari Tuduhan
Pria berusia 34 tahun itu menunjukkan sejumlah barang elektronik yang tersambung dengan listrik hasil PLTMH. Saat itu, hanya dua barang eletronik yang menyala, yakni kulkas dan penanak nasi. Dia juga menunjukkan adanya listrik yang tersambung dengan menghidupkan saklar lampu.
"Bulan kemarin saya bayar iuran Rp 30.000. Kalau di sini, tergantung pakainya. Kalau pakai banyak ya iurannya banyak, kalau pakainya sedikit ya iurannya sedikit," ujarnya.
Zaenal yang sehari-hari berprofesi sebagai petani sayuran ini mengaku bisa menghemat pengeluaran rumah tangga dari adanya PLTMH di Dusun Telaga Pucung. Dari hasil menanam sawi hijau, tomat, dan daun bawang, Zaenal biasa meraup Rp 2-7 juta per bulan.
Baca Juga:
Tips Tetap Bugar dan Produktif di Musim Hujan
Dia menceritakan, sebelum adanya aliran listik dari PLTHM, warga memperoleh listrik dari energi kinetik yang berasal dari dinamo yang digerakkan oleh kincir air. Alur kerja kincir air tersebut terdiri dari baling-baling kayu yang dikaitkan dengan karet untuk menggerakkan dinamo.
Ayah tiga orang anak itu mengatakan, kincir air itu dibangun dan dirawat secara mandiri tanpa adanya bantuan dari pemerintah.
"Energinya dari aliran sungai. Satu baling-baling untuk satu rumah. Cuma itu gak maksimal, kalau ada banjir terlalu keras, blong. Kadang hilang baling-balingnya dan kalau ada kerusakan kami benahi sendiri-sendiri," kenang Zaenal.